Minggu, 28 Agustus 2011

pemendagri Kode etik PPNS


PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI
NOMOR 11 TAHUN 2009
TENTANG
KODE ETIK PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPil DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI DALAM NEGERI,

Menimbang  :  a.  bahwa dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah secara profesional dan akuntabel diperlukan tenaga Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah yang memiliki integritas, kompetensi, obyektifitas, dan independensi dalam menjalankan tugasnya;
b.  bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Kode Etik Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah;

Mengingat    :  1.  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesla Nomor 3209);
2.  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1974 Nomor 55 Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3890);
3.  Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik lndonesia (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4168);
4.  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kall, terakhir dengan Undang-­Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4844;
5.  Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3258);
6.  Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130 Tahun 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130 Tahun 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan  :  PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG KODE ETIK PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1.   Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah yang selanjutnya disebut PPNS Daerah, adalah Pegawai Negeri pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah.
2.   Peraturan Daerah adalah Peraturan Daerah Provinsi dan atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
3.   Kepala daerah adalah gubernur untuk provinsi dan bupati/walikota untuk kabupaten/kota.
4.   Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat Daerah sebagaimana unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
5.   Operasi penindakan yang selanjutnya disebut yustisi adalah operasi penegakan Peraturan Daerah yang dilakukan oleh PPNS Daerah secara terpadu dan atau sistim peradilan di tempat.
6.   Kode Etik Profesi Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah norma yang digunakan sebagai pedoman yang harus ditaati oleh PPNSD dalam melaksanakan tugas, sesuai dengan prosedur penyidikan, ketentuan peraturan perundang-undangan, dan Perda PPNS Daerah yang berlaku dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

BAB II
PELAKSANAAN TUGAS PPNS DAERAH

Pasal 2
(1) PPNS Daerah dalam melaksanakan tugasnya mentaati peraturan perundangan dengan penuh pengabdian, kesadaran dan tanggungjawab.
(2) PPNS Daerah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan prinsip-prinsip:
a.   Integritas, yaitu memiliki kepribadian yang dilandasi oleh unsur jujur, berani, bijaksana dan bertanggungjawab;
b.   Kompetensi, yaitu memiliki pengetahuan, keahlian, pengalaman, dan keterampilan yang diperlukan dalam melaksanakan tugasnya;
c.   Obyektifitas yaitu menjunjung tinggi ketidakperpihakan dalam melaksanakan tugasnya; dan
d.   Independensi, yaitu tidak terpengaruh adanya tekanan atau kepentingan pihak manapun.
(3) PPNS Daerah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib bersikap dan berperilaku sesuai dengan kode etik.

BAB III
KODE ETIK PPNS DAERAH

Pasal 3
Kode Etik PPNS Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) meliputi:
a.   mengutamakan kepentingan Negara, Bangsa, dan Masyarakat daripada kepentingan pribadi atau golongan;
b.   menjunjung tinggi HAM;
c.   mendahulukan kewajiban daripada hak;
d.   memperlakukan semua orang sama di muka hukum;
e.   bersikap jujur dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas;
f.    menyatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah;
g.   tidak mempublikasikan nama terang tersangka dan saksi-saksi;
h.   tidak mempubiikasi antata cara aktik dan teknik penyidikan;
i.    mengamankan dan memelihara barang bukti yang berada dalam penguasaannya karena terkait dengan penyelesaian perkara;
j.    menjunjung tinggi hukum, norma yang hidup dan berlaku di masyarakat, norma agama, kesopanan, kesusilaan dan HAM;
k.   senantiasa memegang teguh rahasia jabatan atau menurut perintah kedinasan harus dirahasiakan;
l.    menghormati dan bekerjasama dengan sesama pejabat terkait dalam sistem peradilan pidana; dan
m. dengan sikap ikhlas dan ramah menjawab pertanyaan tentang perkembangan penanganan perkara yang ditanganinya kepada semua pihak yang terkait dengan perkara pidana yang dimaksud, sehingga diperoleh kejelasan tentang penyelesaian.

BAB IV
TATA KERJA

Pasal 4
(1) Hubungan PPNS Daerah dengan PPNS Daerah lainnya dalam pelaksanaan tugasnya:
a.   mampu bekerja sama dan berkoordinasi dengan PPNS Daerah lainnya dan instansi terkait;
b.   menumbuhkan dan memelihara rasa kebersamaan;
c.   saling mengingatkan, membimbing, dan mengoreksi perilaku; dan
d.   mentaati dan menjalankan perintah atasan.
(2) Hubungan PPNS Daerah dengan pihak yang diperiksa wajib:
a.   menjunjung tinggi azas praduga tidak bersalah;
b.   menjunjung tinggi hak asasi manusia; dan
c.   bersikap independen dalam melaksanakan penyidikan.

BAB V
PENEGAKAN KODE ETIK PPNS DAERAH

Pasal 5
(1) Penegakan Kode Etik PPNS Daerah dibentuk Tim Kehormatan Kode Etik yang bersifat ad hoc.
(2) Tim Kehormatan Kode Etik sebagaimana dimaksud ayat (1) berjumlah 3 (tiga) atau 5 (lima) orang terdiri atas:
a.   1 (satu) orang Ketua merangkap anggota;
b.   1 (satu) orang Sekretaris merangkap anggota; dan
c.   1 (satu) atau 3 (tiga) orang anggota
(3)  Keanggotaan Tim Kode Etik PPNS Daerah terdiri atas 3 (tiga) unsur yaitu, unsur Dinas PPNS Daerah yang bersangkutan, Unsur Bawasda. Provinsi, dan Unsur Biro Hukum/Bagian Hukum.

Pasal 6
Tim Kehormatan Kode Etik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 mempunyai tugas dan wewenang:
a.   memantau pelaksanaan tugas PPNS Daerah;
b.   memeriksa pelanggaran PPNS Daerah;
c.   menetapkan ada tidaknya pelanggaran kode etik PPNS Daerah; dan
d.   memberikan rekomendasi kepada Kepala Daerah.

Pasal 7
(1)  Tim Kehormatan Kode Etik di Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
(2)  Tim Kehormatan Kode Etik di Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota.

Pasal 8
(1)  Tim Kehormatan Kode Etik dibentuk paling lambat 15 (limabelas) hari kerja sejak laporan/pengaduan dan/atau informasi dugaan terjadinya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pejabat PPNS Daerah.
(2)  Tim kehormatan kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir masa tugasnya setelah menyampaikan rekomendasi hasil pemeriksaan.

BAB VI
PENGADUAN

Pasal 9
(1)  Pengaduan atas pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan oleh PPNS Daerah terhadap Kode Etik ini disampaikan kepada Bawasda dan Tim Kehormatan Kode Etik.
(2)  Pengaduan yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan data dan alat bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.
(3)  Pengadu harus mencantumkan identitas yang jelas dan lengkap.

BABVII
SANKSI

Pasal 10
PPNS Daerah yang dalam melaksanakan tugasnya melanggar kode etik dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan setelah mempertimbangkan rekomendasi Tim Kehormatan Kode Etik.

BAB VIII
PEMBINAAN

Pasal 11
Pimpinan atasan langsung pejabat PPNS Daerah melakukan pembinaan profesi dan mental. Pembinaan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pendidikan formal dan pendidikan informal.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP


Pasal 12
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Pebruari 2009
MENTERI DALAM NEGERI,
ttd
H. MARDIYANTO

Membagun Satpol PP yang Profesional di Era Otda


Membagun Satpol PP yang Profesional di Era Otda
Oleh: Sariman
Sejak diberlakukannya Undang- Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah Pasal 148, peranan satuan polisi pamong praja (Satpol PP), menjadi strategis sebagai aparatur membantu kepala daerah dalam penyelengaraan ketentraman dan ketertiban masyarakat serta penegakan peraturan daerah (Perda) dan peraturan kepala daerah lainya.
Dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan dinamika kegiatan masyarakat seirama dengan tuntutan era globalisasi dan otonomi daerah, maka kondisi ketenteraman dan ketertiban umum daerah yang kondusif merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya.
Satpol PP mempunyai tugas membantu kepala daerah untuk menciptakan suatu kondisi daerah yang tenteram, tertib, dan teratur sehingga penyelenggaraan roda pemerintahan dapat berjalan dengan lancar dan masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan aman. Oleh karena itu, di samping menegakkan Perda, Satpol PP juga dituntut untuk menegakkan kebijakan pemerintah daerah lainnya yaitu peraturan kepala daerah.
Untuk mengoptimalkan kinerja Satpol PP perlu dibangun kelembagaan Satpol PP yang mampu mendukung terwujudnya kondisi daerah yang tenteram, tertib, dan teratur. Penataan kelembagaan Satpol PP tidak hanya mempertimbangkan kriteria kepadatan jumlah penduduk di suatu daerah, tetapi juga beban tugas dan tanggung jawab yang diemban, budaya, sosiologi, serta risiko keselamatan polisi pamong praja.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja dirasakan tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Sehubungan dengan hal tersebut dan sesuai dengan ketentuan susunan organisasi, formasi, tugas, fungsi, wewenang, hak dan kewajiban Satpol PP ditetapkan dengan Perda yang berpedoman pada Peraturan Pmemerintah Nomer 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja.
Salah satu fungsi dari pemerintah daerah adalah memelihara ketentraman dan ketertiban umum, selain menyediakan kebutuhan dasar masyarakat (pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, fasilitas umum). Ketentraman adalah suasana batin dari setiap individu karena terpenuhinya kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan) serta adanya kesempatan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai kemanusiaannya.Ketertiban umum adalah suatu situasi dan kondisi dinamis yang menggambarkan adanya kepatuhan kepada hukum, norma, serta kesepakatan umum.
Kasus kerusuhan di Tanjung Priok Jakarta tahun 2010 dan berbagai kasus serupa yang terjadi di wilayah Indonesia, menyadarkan para pembuat kebijakan mengenai perlunya menata ulang kelembagaan Satpol PP menjadi organisasi yang profesional. Pembubaran organisasi Satpol PP merupakan reaksi emosional sesaat, karena hal tersebut justru akan memunculkan masalah lainnya yang lebih besar, yakni ketiadaan organisasi penegak Perda, yang pada gilirannya akan membuat runtuhnya kewibawaan pemerintah daerah. Kontroversi keberadaan organisasi Satpol PP memang sudah dimulai dari hulunya, yakni berasal dari urusan keamanan yang sampai saat ini belum didesentralisasikan, sehingga memunculkan dualisme penanganan urusan keamanan dan ketertiban masyarakat ( Kamtibmas) yang ditangani oleh Polri dengan urusan pembinaan ketentraman dan ketertiban umum ( Tramtibum) yang ditangani oleh Pemda, khususnya Satpol PP. Pendekatan utama yang digunakan untuk menjaga ketentraman adalah pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dengan cara-cara persuasif. Pendekatan utama yang digunakan untuk menjaga ketertiban umum adalah pendekatan penyadaran, dan apabila dianggap perlu digunakan pendekatan koersif. Meskipun selalu disebutkan sebagai satu kesatuan, tetapi pendekatan menjaga ketentraman dengan menjaga ketertiban umum dapat saling bertolak belakang. misalnya: penataan pedagang kakilima, pada satu sisi dalam rangka menegakkan perda untuk ketertiban umum, pada sisi lain menimbulkan ketidaktentraman, karena PKL kehilangan tempat mencari nafkah.
Satpol PP sebagai SKPD yang bertanggung jawab memelihara dan menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum, menegakkan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, PP Nomor 6 Tahun 2010 sebagai pengganti PP Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa fungsi Satpol PP adalah :Satpol PP mempunyai fungsi:
a)      penyusunan program dan pelaksanaan penegakan Perda, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat;
b)      pelaksanaan kebijakan penegakan Perda dan peraturan kepala daerah;
c)      pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat di daerah;
d)     pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat;
e)      pelaksanaan koordinasi penegakan Perda dan peraturan kepala daerah, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah, dan/atau aparatur lainnya;
f)       pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum agar mematuhi dan menaati Perda dan peraturan kepala daerah; dan
g)    pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh kepala daerah.
Untuk menjadikan Satpol PP aparatur terdepan dalam penyelengaraan ketentraman dan ketertiban dan penegakan perda yang profesional, perlu adanya penguatan lembaga tanpa ada intervensi kepentingan politik. PP Nomer 6 Tahun 2010 Tentang Satpol PP sebenarnya telah mendorong daerah membangun organisasi Satpol PP secara profesional melalui pembentukan dan penguatan organisasi Satpol PP di klasifikasi menjadi Tipe A dan Tipe B dengan Eselon II a Tipe A dean Eselon IIIa Tipe B, bahkan khusus untuk organsisasi Satpol PP DKI Jakarta diatur tersendiri oleh Peraturan Mentri Dalam Negeri, karena DKI Jakarta sebagi Ibukota Negara sehingga Eselon Ka. Satpol PP dapat mengajukan eselon IB dan ini harus direspon oleh kepala daerah.
Selain penguatan kelembagaan PP Nomer 6 Tahun 2010  juga  mingisyaratkan Satpol PP dapat diangkat sebagai jabatan fungsional, yaitu Pasal 33 menyebutkan bahwa : “Polisi Pamong Praja dapat diangkat sebagai pejabat fungsional yang penetapannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.  Pasal 33 tersebut sebenarnya memperkuat bunyi pasal 20 yakni : Pengisian jabatan struktural di lingkungan Satuan Polisi Pamong Praja diisi oleh pejabat fungsional polisi pamong praja”. Pemerintah daerah mempunyai waktu 1 tahun harus memberlakukan Satpol PP sebagai Jabatan Fungsional dan 2 Tahun memberlakukan penguatan kelembagaan Satpol  PP sejak PP Nomer 6 Tahun 2010 tentang Satpol PP diundangkan. Untuk dapat membangun organisasi fungsional, perlu ada pedoman angka kredit untuk jabatan bersangkutan serta adanya instansi tingkat nasional sebagai pembinanya. Sampai saat ini pedoman tersebut belum ada.
Model organisasi fungsional di lingkungan pemerintahan sebenarnya bukan hal yang baru. Organisasi perguruan tinggi negeri, Guru dan lain sebagainya dapat dikategorikan sebagai organisasi fungsional. Ciri organisasi fungsional adalah bahwa jabatan-jabatan struktural dalam organisasi tersebut diisi oleh pejabat fungsional sesuai bidang keahliannya. Dengan demikian jabatan fungsional menjadi karier sepanjang masa pengabdian sebagai PNS (longlife career). Sedangkan jabatan struktural adalah jabatan tambahan bersifat temporer yang dapat diangkat dan diberhentikan setiap saat. Di lingkungan pemerintah daerah, ujicoba pengembangan jabatan fungsional sebenarnya dipelopori oleh Satpol PP, tetapi gagasan tersebut berhenti di atas kertas. Pejabat pemerintah daerah masih sangat berorientasi pada jabatan struktural karena adanya perbedaan penghargaan dan fasilitas kedinasan dibanding dengan pejabat fungsional.
Selama ini pandangan Jabatan Fungsional masih kurang di hati para PNS di lingkungan pemerintah, hal ini di sebabkan karena pemerintah daerah masih mengunakan model jabatan struktur yang diutamakan dan perhatikan masalah kesejaterannya. Untuk itu perlu dirubah pardigma penyusunan organisasi pemerintah daerah dari paradigma organisasi struktural ke organisasi fungsional tersebut selain sejalan dengan perkembangan teori organisasi yang mengarah pada model organisasi horisontal ( Ostroff, Frank; The Horizontal Organization, Oxford University Press, 1999) juga konkordan dengan tahap perkembangan peranan PNS. Menurut Bekke, Perry and Toonen yang dikutip oleh PROF.DR. SADU WASISTIONO, M.Si : “ Civil Service Systems in Comparative Perspective (Indiana University Press) (1996 : 71 –88), ada lima tahap pengembangan peran PNS yaitu sbb :

a. Tahap Pertama : PNS sebagai Pelayan Perseorangan;
b. Tahap Kedua : PNS sebagai Pelayan Negara/Pemerintah;
c. Tahap Ketiga : PNS sebagai Pelayan Masyarakat;
d. Tahap Keempat : PNS sebagai Pelayanan Yang Dilindungi;
e. Tahap Kelima : PNS sebagai Pelayanan Profesional.
Untuk masuk ke tahap kelima perlu dibangun organisasi fungsional yang didukung oleh orang-orang yang memiliki kompetensi dan profesional dalam bidang tugasnya masing-masing. Arah pengembangan kariernya bukan melebar menjadi generalis, melainkan menukik ke dalam menjadi spesialis dalam bidangnya. Dengan adanya PP Nomer 6 Tahun 2010 Tetang Satpol PP yang menempatkan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dan penegakan perda yang merupakan tugas pokok Satuan Polisi Pamong Praja, sebagai urusan wajib bagi Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota. Melalui pengembangan jabatan fungsional Polisi Pamong Praja, diharapkan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dan pengakan perda dapat diselenggarakan secara profesional. Pengembangan organisasi fungsional yang diisi oleh pejabat fungsional membuka peluang bagi pengembangan karier kedua (the second career), di sektor swasta setelah PNS selesai menjalankan tugasnya dan memasuki masa purnatugas. Dengan adanya karier kedua, semua PNS akan siap dan legawa memasuki masa pensiun, sehingga proses kaderisasi akan berjalan dengan lancar, tidak tersumbat seperti sekarang ini karena semua PNS takut pensiun.
Melalaui model organisasi fungsional, Satpol PP yang memilih jenjang karirer akan mencapai puncak (gol VI e) tergantung dari dari kretivitas dan inovasi pegawai tersebut. Dengan demikian perlu adanya kemauan pengambil kebijakan dan penentuan angka kredit bagi anggota Satpol PP, sehingga dapat segera dilaksanakan PP Nomer 6 Tahun 2010, hal ini akan mempengaruhi profesionalisme Satpol PP dalam menjalankan tugasnya.

Bahan Bacaan:
1. Undang- Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
2. Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja
3. Seminar “ Membagun Kelembagaan Satuan Polisi Pamong Praja Yang Profesional” oleh  PROF.DR. SADU WASISTIONO, MSI